Senin, 28 Juni 2010

Roman Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masuknya Penjajah Belanda ke Nusantara ini, telah membawa sistem sosial masyarakat yang sangat melekat pada masyarakat Indonesia. Salah satunya sistem sosial feodalisme, yang merupakan sistem sosial politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan masyarakat Bangsawan. Sistem feodaliasme berkembang di seluruh Nusantara terutama di daerah Jawa Tengah. Dengan kesewenang-wenangan yang disebabkan sistem ini, telah membuat jurang pemisah antara rakyat biasa dengan Golongan Bangsawan atau Priyayi. Feodalisme menguntungkan golongan bangsawan namun menyengsarakan rakyat biasa karena tidak memiliki adab dan jiwa kemanusiaan, salah satu dari praktik sistem ini adalah kerja rodi dan perbudakan di gedung-gedung milik para Priyayi.
Pramoedya Ananta Toer sengaja menghadirkan sebuah Roman Trilogi ‘Gadis Pantai’ untuk mengungkapakan betapa kejamnya sistem feodalisme Jawa pada saat itu yang mengantarkan pada kesengsraan rakyat. Dalam roman tersebut Pram menghadirkan sosok gadis anak seorang nelayan yang mewakili rakyat biasa, mendapatkan perlakuan semena-mena dari seorang Bendoro mewakili golongan Bangsawan yang tidak lain adalah suaminya. Meskipun perlakuan semena-mena itu bukan berupa perlakuan fisik namun lebih ke arah psikis, yaitu di mana dia tidak dihormati sebagai seorang istri, dikekang dan diusir dari kediamannya setelah ia melahirkan anak perempuan hasil dari hubungan dengan Bendoro.
Roman tersebut terdiri dari tiga jilid, namun jilid kedua dan ketiga musnah akibat ‘keganasan’ penguasa pada masa lalu. Akan tetapi dari jilid pertama sudah memberikan gambaran mengenai ‘kekesalan’ Pram terhadap sistem feodalisme. Hal ini merupakan perjuangan kepengarangan Pram yang merupakan bagian dari LEKRA yang mengusung perlawanan feodalisme dan mengangkat ideologi realisme sosialis.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Tentang Pramoedya
Pramoedya lahir pada 6 Februari 1925. Ayah Pram adalah seorang guru nasionalis kiri, sedangkan ibunya berasal dari keluarga ningrat. Dalam suasana yang feodal, ibunya tidak pernah melakukan pekerjaan rumahnya sendirian, karena selalu dilayani pembantu. Namun, karena pengaruh pemikiran sang ayah, ibu Pram akhirnya berubah dan mau mengerjakan semuanya sendirian.
Pendidikan :
SD Blora, Radio Volkschool Surabaya (1940-41), Taman Dewasa/ Taman Siswa (1942-43), Sekolah Stenografi (1944-45), dan Sekolah Tinggi Islam Jakarta (1945).
Karier :
Juru ketik Kantor Berita Jepang Domei (1942-45), Letnan Dua dalam Resimen 6 Divisi Siliwangi (1946), Redaktur Balai Pustaka (1950-51), Pimpinan Literary & Features Agency Duta (1951-54), Redaktur bagian penerbitan “The Voive of Free Indonesia” (1954), Anggota Pimpinan Pusat Lekra (1958), Ketua Delegasi Indonesia dalam Komperensi Pengarang Asia Afrika di Tashkent, Uni Sovyet (1958), Anggota Dewan Ketua Komite Perdamaian Indonesia (1959), Redaktur Lentera (1962-65), Dosen Fakultas Sastra Universitas Res Publica, Jakarta, Dosen Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai, Jakarta.
Karya Novel :
Perburuan (1950), Bumi dan Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Arus Balik, dan Arok Dedes. Kranji Bekasi Jatuh (1947), Keluarga Gerilya, Percikan Revolusi (1950) ,Mereka yang dilumpuhkan, Bukan Pasar Malam, Di Tepi Kali Bekasi, Dia yang Menyerah (1951), Gulat di Jakarta (1953), Midah si Manis Bergigi Emas, Korupsi (1954), Calon arang (1957), Hoakiau di Indonesia (1959), Panggil Aku Kartini Saja (1962), Bumi Manusia, Edisi Inggris Anak Semua Bangsa (1980), Tempo Doeloe (1982), Jejak Langkah, Sang Pemula (1985), Gadis Pantai, Rumah Kaca (1987).

2.2. Struktur Naratif
Cerita dalam Roman Gadis Pantai ini ditulis dengan teknik naratif “orang ketiga”. Karena dalam roman tersebut narator berada di luar cerita, tetapi mengetahui hampir semua hal mengenai pikiran, perasaan, perbuatan tokoh-tokoh cerita dan juga lingkungan yang ada di sekitarnya, yang bahkan mungkin tidak diketahui oleh tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Karena tidak terikat sebagai salah satu tokoh cerita, narator bisa bergerak bebas dalam menulis jalan ceritanya, bebas memindahkan perhatiannya dari satu tokoh ke tokoh yang lain, dari satu tempat dan waktu ke tempat dan waktu yang lain, juga dari satu permasalahan ke permasalahan yang lain.
Cerita Gadis Pantai diawali dengan gambaran tentang sosok Gadis Pantai yang keseharian hidupnya diisi dengan derai ombak dan pemandangan perahu-perahu di laut yang berangkat di pagi buta dan pulang di kala hari mulai senja. Gadis Pantai digambarkan sebagai seorang gadis belia yang baru berusia 14 tahun. Karena naratornya adalah “orang yang mahatahu” yang dapat bergerak bebas dari cerita, ia dapat menempatkan diri dekat atau pun jauh dari objek yang digambarkannya itu. Dengan kemungkinan yang fleksibel itulah ia melukiskan sosok Gadis Pantai. Seperti yang terungkap dalam kutipan berikut, menurut narator, dengan tubuh yang dimiliki Gadis Pantai, ia layak menjadi bunga desa.

“ Empat belas tahun umurnya pada waktu itu. Kulit langsat. Tubuh kecil mungil. Mata agak sipit. Hidung ala kadarnya. Dan jadilah ia kembang kampung nelayan sepenggal pantai keresidenan Jepara Rembang.” (Pramoedya, 2007:11).
Kemudian cerita bergeser, Gadis Pantai dinikahkan dengan seorang Bendoro, Pembesar Jawa (Priyayi) yang bekerja di Kantor Administrasi Belanda, seorang pria yang belum pernah ia kenali dan bahkan ia pun belum pernah bertatap wajah dengan Bendoro tersebut. Ia dinikahkan hanya dengan sebilah keris sebagai perwakilan dari Sang Bendoro. Pernikahan yang dianggap dapat mengkangkat derajatnya yang berasal dari kampung nelayan yang miskin.
“Sst. Jangan nangis. Jangan nangis. Hari ini kau menjadi istri pembesar …. Stt. Jangan nangis. Mulai hari ini kau tinggal di gedung besar nak. Tidak lagi di gubuk. Kau tak lagi buang air di pantai. Kau tak lagi menjahit layar dan jala, tapi sutera, nak. Sst, ssst. Jangan nangis… Sst. Jangan nangis, nak. Hari ini kau jadi istri orang kaya” (Pramoedya, 2007:12).
Ketika sampai di rumah Bendoro, rumah megah ala Eropa, mereka masih kebingungan dengan sosok sang Bendoro. Narator menggambarkan penampilan pertama Bendoro tersebut hanya dengan suara dan deritan selop yang selalu dikenakannya, tanpa menggambarkan wujud fisik dan nama aslinya, sehingga tokoh tersebut terkesan sebagai sosok yang misterius, menyembunyikan rahasia yang belum diketahui bahkan oleh naratornya sendiri.
“ semua tegang menegakkan tubuh. Pendengaran tertuju pada sepasang selop yang berbunyi berat sayup terseret-seret dilantai. Bunyi kian mendekat dan akhirnya nyata terdengar: buuutt.”
(Pramoedya, 2007:21)
Terdengar bunyi selop berhenti, kemudian, ‘Mengapa aku tak dibangunkan? Suruh ke sini kepala kampung itu!’ (Pramoedya, 2007: 22)
Cerita pun mulai berkembang jauh, narator melihat Bendoro dari dekat. Narator mulai menggambarkan bagaimana wujud sang Bendoro itu.

“…. Nampak seorang pria bertubuh tinggi kuning langsat berwajah agak tipis dan berhidung mancung. Ia berkopiah haji dan berbaju teluk belanga dari sutera dan bersarung bugis hitam dengan beberapa genggang putih tipis-tipis…” (Pramoedya, 2007:31).
Sisi religi juga digambarkan oleh narator. Bagaimana agama dijadikan panutan. Bagaimana agama begitu asing di telinga, di mata bahkan di hati rakyat jelata. Hanya orang-orang yang memiliki darah biru saja yang berhak untuk mempelajari agama. Orang yang memiliki pengetahuan agama lebih tinggi derajatnya, mereka disebut Priyayi.
“ Bujang itu kemudian mengajarinya mengambil air wudu. ‘Air suci selelum sembahyang, Mas Nganten.’ ‘apakah mandi dengan air sebanyak itu kurang bersih?’ tanyanya. ‘Selamanya memang begini, Mas Nganten.’ Untuk pertama kali dalam hidupnya Gadis Pantai bersuci diri dengan air wudu dan dengan sendirinya bersiap untuk bersembahyang.” (Pramoedya, 2007:34).

Cerita pun berlanjut, narator membuka tabir di antara Bendoro dan rakyat dari kampung nelayan yang miskin. Narator memberikan kritikan terhadap kesenjangan yang terjadi di antara mereka. Kritikan terhadap anggapan bahwa orang Priyayi adalah orang-orang suci yang dekat dengan Tuhan, sedangkan orang miskin adalah orang-orang hina yang dikutuk-Nya. Narator juga menggambarkan perbedaan dalam strata sosial, terutama dalam pangan dan makan. Perbedaan yang sangat mencolok sekali. Orang yang berderajat tinggi seperti Bendoro mengikuti pola makan orang Eropa. Cara makan pun mereka meniru gaya Eropa yang mereka anggap sebagai manusia berderajat tinggi. Terlihat sekali kesenjangan diantara orang yang berderajat dengan orang rendahan. Menggunakan sedok-garpu bahkan duduk dimeja makan sebagai tanda mereka adalah orang berkelas. Sungguh, budaya Eropa sudah merangsek masuk ke dalam jiwa masing-masing orang Jawa yang berderajat. Tak luput pula narator mulai menceritakan perwatakan dari pada Sang Bendoro.

“Tak perlulah kalau kau tak suka. Aku tahu kampung-kampung sepanjang pantai sini. Sama saja. Sepuluh tahun yang lalu aku juga pernah datang ke kampungmu. Kotor, miskin, orangnya tak pernah beribadah. Kotor itu tercela, tidak dibenarkan oleh orang yang tahu agama. Di mana banyak terdapat kotoran, orang-orang di situ kena murka Tuhan, rejeki mereka tidak lancar, mereka miskin.” (Pramoedya, 2007:41)

“kau tinggalkan rumah ini! Bawa seluruh perhiasan dan pakaian. Semua yang telah kuberikan kepadamu. Bapakmu sudah kuberikan uang kerugian, cukup buat membeli dua perahu sekaligus dengan segala perlengkapannya. Kau sendiri, ini…,” Bendoro mengulurkan kantong berat berisikan mata uang… pesangon. “Carilah suami yang baik, dan lupakan segala dari gedung ini. Lupakan aku, ngerti?” (Pramoedya, 2007:257).

Dengan peralihan posisi dan jarak di atas, narator dapat memperlihatkan kepada pihak mana, kepada tokoh-tokoh yang mana, ia berpihak, berseimpati dan kepada pihak mana, tokoh-tokoh yang mana ia bersikap anti pati. Dalam novel ini jelas, narator berpihak dan bersimpati kepada Gadis Pantai. Selain itu juga narator menunjukkan simpatinya kepada orang tua Gadis Pantai, si Dul, kusir dokar sewaan (man), penduduk kampung nelayan yang miskin dan juga seorang Bujang wanita yang membantu Gadis Pantai ketika mengawali kehidupannya sebagai Mas Nganten. Perasaan anti pati narator ditunjukkan terutama kepada Bendoro, para Bagus, Mandor, Kompeni, Bendoro Demak, Mardikun (mak Pin), dan Mardinah. Bendoro adalah seorang Priyayi yang bekerja kepada Belanda. Ia sangat kaya raya dan memiliki pengetahuan agama yang cukup tinggi, sudah berhaji dua kali. Bendoro dikatakan masih bujang karena belum menikahi perempuan yang sederajat dengannya, walaupun toh ia telah menikah berkali-kali dengan para perempuan yang disebut Mas Nganten (perempuan yang dijadikan gundik, perempuan yang melayani kebutuhan seks para pembesar sampai kemudian pembesar memutuskan untuk menikah dengan perempuan yang sederajat dengannya), seperti halnya Gadis Pantai. Bendoro dengan seenaknya mencampakkan para Mas Nganten tersebut setelah mereka memberikan satu anak kepadanya, merenggut paksa dan memisahkan anak dari ibunya; yang kemudian ia memutuskan untuk menikahi perempuan yang lain lagi. Kehidupan rakyat dalam cengkraman feodalisme Jawa, sehingga merelakan anak gadis mereka yang masih belia dinikahi oleh Bendoro dengan maksud agar dapat menaikkan derajatnya. Sikap dan pandangan feodalisme Jawa yang berakar kuat di sanubari Bendoro, dan para Bendoro lainnya, sehingga bersikap seenak perutnya sendiri. Mereka mempunyai hak untuk menindas, menginjak dan meremehkan harkat dan martabat rakyat jelata.

2.3. Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik merupakan unsur dari dalam yang membangun sebuah karya satra. Adapun unsur-unsur intrinsik sebuah karya sastra adalah sebagai berikut:
a. Tema
Tema merupakan sesuatu yang menjadi dasar cerita atau ide dan tujuan utama cerita. Tema biasanya selalu berkaitan dengan penglaman-pengalaman kehidupan sosial, cinta, ideologi, maut, religius dan sebagainya. Tema yang disajikan dalam Roman ini adalah mengenai sosio-kritik dalam sistem masyarakat. Bagaimana rakyat kecil yang diwakili oleh Gadis Pantai yang menjadi istri seorang Priyayi, diperlakukan oleh Priyayi sebagai pemuas nafsunya, dijauhkan dari dunia luar yang menurut Priyayi tersebut sebagai dunia yang kotor dan ia dicampakan dan diusir oleh Priyayi tersebut dengan alasan dia tak sederajat dengannya.
Adapun kritik yang ditujukan pada sistem feodalisme adalah melalui gambaran dalam cerita yang disebutkan bahwa semua yang ada di Gedung Besar adalah rakyat jelata yang harus tunduk dan patuh pada Priyayi, dan mereka tidak patut dihormati.

b. Latar/ Setting
Latar /setting dalam sebuah karya sastra dalah keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya lakuan. Dalam roman ‘Gadis Pantai’ menghadirkan dua latar: Pertama adalah latar fisik, merupakan latar pada lokasi tertentu atau waktu tertentu secara jelas. Latar fisik yang ditampilkan dalam roman tersebut yang utama adalah sebuah Gedung Besar di kota Rembang dengan penggambaran bentuk dan suasananya. Selain itu juga berada di daerah pesisir pantai utara pulau Jawa tepatnya kampung nelayan di Rembang dengan gambaran kondisi nelayan; Kedua adalah latar sosial, merupakan latar pada hal-hal yang berhubungan pada perilaku sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya sastra. Penceritaan latar sosial hanya menggambarkan di mana yang tergambar, yaitu dengan kondisi masyarakat kampung nelayan yang bodoh (tidak bisa baca tulis), hidup mereka hanya bergantung pada laut. Berbeda dengan kehidupan golongan Priyayi yang sangat berlebihan.
c. Alur
Alur merupakan tahapan-tahapan peristiwa yang dihadirkan oleh para pelaku dalam sebuah cerita, sehingga membentuk suatu rangkaian cerita. Alur dapat kita perhatikan dari rangkaian-rangkaian peristiwa yang dibangunnya. Dengan demikian untuk mengetahui bagaimana alur sebuah cerita rekaan, kita perlu menyimak rangkaian peristiwa yang terdapat dalam karya yang bersangkutan.
Jenis alur yang digunakan dalam Roman ‘Gadis Pantai’ adalah alur maju, hal itu tertlihat dari rangkaian kejadian dari gadis pantai yang hidup di Kampung nelayan, berubah menjadi seorang Priyayi karena menikah dengan Priyayi pembesar kota Rembang. Dari situ kehidupan Gadis Pantai menjadi lebih baik, sampai puncaknya ketika ia dapat menyesuaikan dengan kehidupan Bendoro. Namun setelah ia melahirakan anak, ia diusir kembali dari gedung besar. Karena sesuai dengan apa yang menjadi janji Bendoro, ia tidak akan menjadikan seorang perempuan sebagai pendamping hidupnya kecuali dia sederajat denganya. Adapun pengilasan balik cerita itu hanya sebagai pendukung jalan cerita atau narasi dari roman tersebut.
Pram menyajikan cerita dengan bagian awal cerita sebagai pendeskripsian tokoh utama, yaitu Gadis Pantai yang bertubuh kecil, kulit putih bersih yang hidup di Kampung. Di bagian tengahnya menghadirkan konflik baik yang terjadi dalam diri Gadis Pantai atau pun konflik dengan tokoh yang lain. Lalu akhir dari bagian cerita tersebut yaitu keadaan yang memprihatinkan yang terjadi pada diri Gadis Pantai akibat dati ‘keganasan’ praktik Feodalisme.
d. Penokohan
Sesuai KBBI penokohan dapat diartikan sebagai pencitraan citra tokoh dalam sebuah karya sastra. Tokoh yang terdapat dalam Roman Gadis Pantai terdapat tiga tokoh. Pertama yaitu tokoh utama atau tokoh yang mendominasi cerita. Yang menjadi tokoh utama yaitu Gadis Pantai, digambarkan sebagai tokoh yang menghormati, patuh kepada orang tua dan suaminya. Ia juga selalu ingin memberontak terhadap aturan yang ada di gedung rumah Priyayi.
Kedua yaitu tokoh protagonis atau tokoh yang dikagumi sesuai dengan harapan pembaca. Yang merupakan tokoh protagonis yaitu pembantu tua yang tinggal di gedung besar, yang selalu memberikan penjelsan atau memberi bantuan kepada tokoh utama. Selain itu juga ada emak dan bapaknya. Ketiga yaitu tokoh antagonis atau tokoh yang tidak disenangi pembaca karena memiliki watak yang tidak sesuai dengan harapan pembaca. Yang merupakan tokoh ini adalah Bendoro yang arogan, sombong, dan kelakuanya merupakan bagian dari sistem feodalisme. Selain bendoro juga Mardinah dan komplotannya yang berusaha menghabisi tokoh utama.
Penokohan yang digambarkan Pram yaitu melalui deskripsi dan dialog antara tokoh yang satu dengan yang lain.

e. Sudut Pandang
Sudut pandang adalah cara dan pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita. Dalam penceritaanya Pram menggunakan sudut pandang orang ketiga (diaan) maha tahu. Hal itu di tunjukan melalui deskripsi.
f. Amanat
Amanat merupakan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang dari sebuah karya sastra. Dalam roman ini secara eksplisit pengarang memberikan sebuah pesan mengenai kebudayaan Jawa hasil dari peninggalan jajahan Belanda yang telah menyengsarakan rakyat pribumi dan mereka membodohinya.
‘oh, oh, dewa sejagat kalah bengisnya
matilah dia berani tolak perintahnya
bupati mantra semua Priyayi apalagi
orang kecil yang ditakdirkan jadi kuli
dia sandang pedang tipis di pinggang kiri
tapi titahnya wah-wah lebih dahsyat lagi
laksana geledek sambar perahu dan tali-temali
sehela nafas sedepa jalan harus jadi
menggigil semua dengar namanya guntur
semua pada takluk gunung kali dan rawa
pantai dan jalan berjajar panjang membujur
kepala kawula jadi titian orang yang kuasa
[….]
waktu jalan panjang sempurna jadi
kereta-kereta indah jalan tiap hari
bawa tuan-tuan nyonya-nyonya dan putra-putri
tuan besar gubernur jenderal dan para abdi (170-171).
Selain itu juga bila melihat dari deskripsi puisi yang dilantunkan tokoh si Dul, menandakan ketidakberdayaan rakyat, yang badan dan jiwanya telah dikuasai oleh elit kekotaan Jawa wakil setempat raja-raja tradisional di Jawa Tengah, serta orang Belanda yaitu Gubernur Jenderal Daendels.
2.4. Unsur Ekstrinsik
Unsur Ekstrinsik merupakan unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, akan tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Unsur ekstrinsik berupa:
a. Kehidupan Pengarang
Kehidupan pengarang merupakan suatu yang mempengaruhi jenis kepengarangan para sastrawan. Di mana ia bekerja, bersekolah ataupun pergaulannya. Pramoedya Ananta Toer merupakan Sastrawan yang lahir di Blora, pada tahun 1925. Menurut sejarah Ayah Pram menikah dengan Ibunya pada saat berumur 15 tahun. Saat Pram ada konflik dengan ayahnya ibunya-lah yang paling menyayanginya dan ia lah yang memperjuangkan kehidupan keluarganya walaupun dalam keadaan sakit. Maka tak heran apabila ia sangat sayang pada ibunya.
Dalam kepengaranganya Pram banyak menceritakan tentang wanita yang hampir menjadi manusia teladan, yang berani dan tabah, yang tetap memperjuangkan kemanusiaanan keadilan. Dalam Roman Gadis Pantai, Pram terinspirasi oleh seorang wanita yang tak lain adalah neneknya dari ibu, ia bernama Satimah. Satimah adalah wanita yang dijadikan selir oleh kakeknya, Penghulu Rembang. Tetapi setelah melahirkan anaknya (Ibu Pram), Satimah dienyahkan dari gedung tuannya. Satimah adalah wanita yang periang, tabah, tak kenal putus asa, rajin, dan seorang pekerja sejati. Ia dari keluarga miskin, meskipun miskin dia tetap menyayangi cucu-cucunya dengan selalu memberikan hadiah kecil. Meskipun Pram tidak tahu banyak tentang neneknya namun dari situ, nenek Satimah merupakan prototype Gadis Pantai.
b. Keadaan Masyarakat
Pram merupakan gambaran dari masyarakat Jawa kebanyakan yang tertindas oleh Kolonial Belanda. Namun Ia tidak seperti orang jawa kebanyakan yang menyerah dengan keadaan. Pram memiliki kesadaran nasional yang kuat, ketabahanya dalam melawan segala apa yang dianggap tidak adil, pengalamanya tentang masalah-masalah sosial dalam masyarakat jawa pengertianya tentang pendidikan sebagai sarana untuk membangun bangsa dan manusia yang bebas dan merdeka. Ia hidup di mana pada saat itu penjajah belada tengah berkuasa di nusantara ini terutama di daerah jawa tengah. Dan pada saat itu pula praktik-praktik kolonialisme belanda, salah satunya feodalisme. Melalui karyanya Roman ‘Gadis Pantai’ Pram berusaha untuk ‘menusuk’ praktik feodalisme Jawa yang tidak mengenal adab dan jiwa kemanusiaan.

2.5. Relasi Gender
Dalam Roman ini setidaknya ada empat tokoh perempuan yang ada di dalamnya, yaitu Gadis Pantai, Emak, Bujang wanita, Mardinah dan Mas Ayu (Bendoro wanita yang akan dinikahi Bendoro). Gadis Pantai adalah gadis belia yang sangat lugu, tentu saja karena ia baru berusia 14 tahun kala itu, sebelum ia dinikahi Bendoro. Ia berasal dari kalangan rakyat bawah, penduduk kampung nelayan yang miskin, ia pun buta akan ilmu pengetahuan dan tata karma. Sedangkan Bendoro adalah Priyayi yang terhormat yang memiliki pengetahuan agama yang luas. Kontras sekali dengan Mardinah. Seorang tokoh antagonis di dalam roman ini. Ia tiba-tiba dihadirkan oleh narator sebagai seorang janda, yang pernah menjadi Mas Nganten. Ia lahir di kota Semarang, ia sangat muda dan karena ia mampu membaca ia jauh lebih cerdas dari pada Gadis Pantai. Mardinah pun tahu benar bagaimana seharusnya menjadi Mas Ngaten yang baik dan benar. Karena merasa lebih pintar, dan lebih terhormat, Mardinah begitu meremehkan Gadis Pantai. Karena ia menganggap ia lebih berderajat karena ia lahir di kota sedangkan Gadis Pantai lahir di perkampungan nelayan yang miskin; Mardinah mampu membaca dan menulis, sedangkan Gadis Pantai hanya mampu membaca Al Quran saja. Ambisinya yang ingin membinasakan Gadis Pantai adalah hanya semata-mata karena ia dijanjikan untuk dijadikan istri kelima bagi Bendoro Demak jika ia berhasil menyingkirkan Gadis Pantai dan menikahkan putri Bendoro Demak dengan Bendoro (Priyayi yang menikahi Gadis Pantai).
Emak adalah ibu dari Gadis Pantai yang mengharapkan anaknya mendapat penghidupan dan derajat yang lebih baik. Bujang perempuan adalah pelayan Gadis Pantai ketika ia masih mengawali kehidupannya sebagai Mas Nganten. Sedangkan Mas Ayu adalah seorang perempuan berderajat yang akan dinikahi oleh Bendoro. Hal yang sangat mencolok dalam novel ini adalah terpisahnya ibu dan anak secara paksa, dan diceraikannya seorang Mas Nganten setelah ia melahirkan anak bagi Bendoro. Dalam masyarakat feodal nampak sekali perbedaan antara anak perempuan dan laki-laki. Berapa besarnya keinginan rakyat feodal untuk mendapatkan anak laki-laki. Hal ini dikarenakan mereka mengharapkan adanya penerus bagi mereka. Dalam masyarakat ini anak perempuan hanya dianggap sebagai pengganggu saja dan tidak dapat dibanggakan. Perempuan dianggap sebagai tempat pelepasan birahi dan melahirkan anak saja. Apa lagi jika perempuan itu berasal dari rakyat rendahan. Selain itu pula, bagi seorang perempuan yang menjadi Mas Nganten akan diceraikan begitu saja oleh Bendoro setelah ia memberikan seorang anak kepada Bendoronya.
Seperti halnya apa yang dialami Gadis Pantai dalam roman ini. Setelah masuk tahun ketiga dari pernikahannya, dan setelah ia melahirkan seorang anak yang ternyata perempuan. Betapa murkanya Sang Bendoro dan selang beberapa bulan setelah melahirkan, Gadis Pantai pun diceraikannya. Seperti kutipan berikut.

“Jadi sudah lahir dia. Aku dengar perempuan bayimu, benar?” “Sahaya, Bendoro.” “Jadi cuma perempuan?” “Seribu ampun, Bendoro.” Bendoro membalikkan badan, keluar kamar sambil menutup pintu kembali. Gadis Pantai memiringkan badan, di peluknya bayinya dan diciuminya rambutnya…” (Pramoedya, 2007: 253).
Gadis Pantai, seorang gadis dari kalangan rakyat rendahan, ia belum mengenal cinta dan dicintai, dan ia pun belum banyak tahu tentang kehidupan dan bahkan pengetahuan tentang etika dan tata krama rakyat feodal. Dalam usia yang sangat belia ia menjadi Mas Nganten. Kebahagiaan baginya adalah masa-masa ketika ia masih hidup di pesisir pantai, di kampung nelayan yang kumuh dan miskin, bersama kedua orang tua dan saudara-saudaranya; bermain, bercengkrama dan tertawa lepas bersama teman-temannya di antara bulir-bulir pasir hangat yang menjadi alas kakinya dan deburan ombak sebagai dendangan yang selalu mengiringi langkahnya. Semua terenggut ketika ia menjadi istri seorang Bendoro, yang walaupun dalam kehidupan Priyayi ia mendapatkan cukup makan, pakaian yang bagus dan perhiasan yang indah, namun sesingkat waktu ia dicampakkan begitu saja, anaknya terenggut paksa dari pelukkannya. Ia pun kembali menapaki hidupnya semula, sebagai Gadis Pantai dari golongan bawah.





BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Penjajahan belanda mengakibatkan adanya sistem feodalisme yang menjalar ke darah daging para Priyayi Jawa. Keadaan ini adalah sebuah sistem sosial masyarakat yang mengakibatkan ketidakadilan, kebodohan, kebobrokan mental, serta tidak adanya pemerataan ekonomi. Praktik-praktik Feodalisme Belanda masih terasa hingga kini, masih membekas tentang kerja paksa ”Rodi”, yang telah menginjak-injak harga diri rakyat kecil. Juga perbudakan seks yang dilakukan oleh raja-raja Jawa, Priyayi dan para Petinggi Belanda.
Gadis Pantai, dalam usia yang masih begitu belia telah kehilangan segalanya. Karena begitu malu kembali ke kampungnya, Gadis Pantai dengan perasaan remuk memilih berputar arah ke Selatan, ke Blora. Kisah sekuel Gadis Pantai terhenti di sini. Lewat sekuel pertama ini, Pram meunjukkan kontradiksi negatif praktik feodalisme di tanah Jawa yang tak memiliki adab dan jiwa kemanusiaan. Betapa seorang manusia tak dihargai dari hatinya, namun dari pangkat dan golongan mana dia berasal. Layak dijadikan perenungan.
Buku ini juga tidak negatif, sebab langkah pertama ke arah pembebasan dari penindasan dan penghinaan telah diambil dari Gadis Pantai: ia mulai sadar tentang kenyataan sosial di tempat hidupnya. Ia tidak dapat kembali ke masa lampau, ia harus maju: ”Tanpa menengok ke belakang lagi, Gadis Pantai memusatkan matanya ke depan, demikian dikatakan pada halaman penghabisan.
Pram melalui Roman ‘Gadis Pantai’ berhasil menguak kebengisan sistem feodalisme Jawa. Dengan teknik kepengaranganya Roman ini berhasil menjadi Roman sosio-kritis. Yang memperjuangkan rakyat kecil dan terutama wanita-wanita Jawa yang dijadikan selir para Priyayi. Dengan adanya roman ini kita berharap di masa sekarang tidak ada lagi praktik-praktik Feodalisme.


DAFTAR PUSTAKA

Ananta Toer, Pramoedya. 2003. Gadis Pantai. Jakarta: Lentera Dipantara.
DEPDIKNAS. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua. Jakarta: Balai Pustaka.
Teeuw, A. 1996. Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. Jakarta: Pustaka Jaya.

Raven. GADIS PANTAI Gadis yang Merangkak di antara Feodalisme Jawa. Dalam: http://myraven.blogspot.com/2008/03/membaca-kembali-gadis-pantai.html (diakses tgl 13 Mei 2010).

Eseren, Ali. Potret Wanita Pesisir dalam Roman Gadis Pantai. Dalam: http://imtcpt.wordpress.com/2009/01/21/potret-wanita-pesisir-dalam-roman-gadis-pantai/ (diakses tgl 17 Mei 2010).

Shaidra, Aisha. Analisis Keberpihakan Pramoedya Terhadap Tokoh Perempuan dalam Tiga Karyanya: Suatu Pendekatan Sosiologis. Dalam: http://ashaid.wordpress.com/2009/04/29/analisis-keberpihakan-pramoedya-terhadap-tokoh-perempuan-dalam-tiga-karyanya-suatu-pendekatan-sosiologis/ (diakses tgl 17 Mei 2010).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar